2.1 Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina
sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan
pengalaman sedia ada. Dalam proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan
yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru.
Kebanyakan peneliti berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya
hanya menerima pengetahuan daripada orang lain. Teori ini menekankan pada siswa
untuk mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian masalah. Sehingga dapat
ditemukan cara yang sesuai dengan dirinya.
2.2
Teori Belajar
Piaget
Pandangan konstruktivisme, bahwa pengetahuan
tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam
dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut
Piaget(1980), bahwa manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya,
seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai
berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda.
Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan)
dalam otak manusia. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia
melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi, maksudnya struktur
pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang
sudah ada. Akomodasi, maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada
dimodifikasi untuk menampung dan
menyesuaikan dengan hadirnya
pengalaman baru.
Menurut Piaget
(Ruseffendi, 2006 : 133) ada tiga dalil pokok dalam perkembangan mental
manusia, yaitu :
- Perkembangan intelektual terjadi melaui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
- Tahap-tahap itu diurutkan sebagai kluster dari
operasi-operasi mental yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual
- Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkapkan oleh
keseimbangan proses pengembangan yang menguraikan proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi).
Disamping itu ada empat konsep dasar Piaget yang dapat
diaplikasikan pada pendidikan
matematika, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan, isi
kurikulum dan urut-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep
dasar tersebut adalah: (1) Skemata, (2) asimilasi, (3) akomodasi, dan (4)
ekuilibrium (Senduk, 1985: 10-16).
(1)
Skemata
Manusia
selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung mengorganisasikan tingkahlaku dan berpikirnya. Hal itu
mengakibatkan adanya sejumlah
struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase
atau tingkatan perkembangan tingkah
laku dan kegiatan berpikir
manusia. Struktur ini disebut
struktur pikiran (intellectual
scheme). Dengan demikian,
pikiran harus memiliki suatu
struktur yaitu skema
yang berfungsi melakukan
adaptasi dengan lingkungan dan
menata lingkungan itu secara intelektual.
Secara
sederhana, skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang
digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya (Senduk, 1985 :
10). Skemata itu senantiasa berkembang. Artinya, semasa kecil seorang anak
memiliki beberapa skemata saja, tetapi setelah beranjak dewasa skematanya
secara berangsur-angsur menjadi lebih
luas, lebih kompleks, dan beragam. Perkembangan ini dimungkinkan oleh stimulus-stimulus
yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan dalam pikirannya. Piaget
mengatakan bahwa skemata orang dewasa
berkembang dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan atau
organisasi. Makin mampu seseorang membedakan
satu stimulus dengan
stimulus lainnya, makin
banyak skematanya. Dengan
demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah.
Proses yang menyebabkan adanya perubahan itu adalah asimilasi dan akomodasi.
(2)
Asimilasi
Asimilasi
dimaksudkan sebagai penyerapan informasi
baru ke dalam pikiran (Ruseffendi, 2006 : 133). Proses asimilasi ini
dilakukan dengan jalan memadukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau
perilaku yang telah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah diperkenalkan/diajarkan
tentang persamaan kuadrat: ax2 + bx + c = 0, tetapi ia telah
diperkenalkan/diajarkan persamaan linear. Dengan demikian anak itu telah
memiliki ‘skemata persamaan linear’
yaitu tentang pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b
= c), dan teknik penyelesaiannya. Tetapi belum memiliki ‘skemata persamaan
kuadrat’. Ketika ia melihat persamaan kuadrat, stimulus ‘persamaan kuadrat’
yang dialaminya akan diolah pada pikirannya, dicocok-cocokkan dengan
skemata-skemata yang telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata
yang ada atau yang terdekat dengan karakteristik ‘persamaan kuadrat’ itu adalah
skemata ‘persamaan linear’, oleh karena itu ‘persamaan kuadrat’ dikatakannya
‘persamaan linear’. Ketika diperkenalkan persamaan kuardat dan dipahaminya
bahwa persamaan kuadrat itu bukan persamaan linear, maka terbentuklah skemata
‘persamaan kuadrat’ dalam struktur pikiran anak itu.
Asimilasi
pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau memungkinkan
pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu
dalam usahanya untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi
terjadi secara kontinu, berlangsung terus menerus dalam perkembangan kehidupan
intelektual anak.
(3)
Akomodasi
Terkadang seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru dengan skema yang telah dimilikinya. Hal ini terjadi
karena pengalaman yang baru itu tidak cocok dengan skema yang sudah ada. Dalam
keadaan seperti ini seseorang akan
mengadakan akomodasi.
Akomodasi adalah menyusun kembali struktur fikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi itu mempunyai tempat (Ruseffendi,
2006 : 133). Proses kognitif
tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama.
Disini nampak terjadi perubahan secara kuantitatif. Jadi, pada hakekatnya
akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Dengan
kata lain, asimilasi bersama-sama akomodasi secara terkoordinasi dan
terintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan
struktur intelektual. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi itu terus
berlangsung dalam diri seseorang..
(4)
Ekuilibrium
(Keseimbangan)
Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan
antara asimilasi dan akomodasi . Proses ini disebut ekuilibrum, yaitu mengatur
keseimbangan proses asimilasi dan
akomodasi, sedangkan disekuilibrum adalah keadaan tidak seimbang antara
asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi adalah proses bergerak dari keadaan
disekuilibrum ke ekuilibrum. Proses tersebut berjalan terus dalam diri
seseorang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi membuat seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan skema . Bila terjadi ketidakseimbangan,
seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan yang baru dengan asimilasi dan
akomodasi.
Menurut teori Piaget, perkembangan mental manusia itu
dapat dikelompokkan dalam empat tahap : (1)
tahap sensori motor (umur sekitar 0 - 2 tahun), tahap preoperasi(umur
sekitar 2 - 7 tahun), (3) tahap operasi konkrit (umur sekitar 7-11 atau 12) dan
tahap operasi formal(umur sekitar 11 tahun sampai dewasa)(Ruseffendi, 2006 :
134). Perkembangan kognitif manusia
ini tumbuh secara kronologis. Dengan kata lain setiap manusia itu akan
mengalami perkembangan mental dengan urutan seperti di atas dan semuanya akan
dilalui. Perbedaan yang terjadi hanya mengenai waktu; terjadinya itu ada yang
cepat dan ada yang lambat.
2.3
Kontruktivisme Dalam Pembelajaran Matematika
Pembelajaran yang mendasarkan pada prinsip konstruktivisme, menganjurkan
pada guru untuk tidak mengajarkan konsep secara jadi. Tetapi sebuah proses belajar yang menuntut
guru untuk mendorong siswanya agar
membangun atau menemukan konsep dengan cara mereka sendiri, sehingga ia
meyakini cara yang dilakukan itu adalah benar dan masuk akal.
Pembelajaran matematika dengan prinsip
konstruktivisme, mengarahkan siswa kepada aktivitas seperti mengobservasi atau
mengeksplorasi. Proses pembelajaran yang menerapkan inquiri mengupayakan
penciptaan situasi yang mendorong siswa untuk dapat berperan seperti seorang
ilmuwan. Mengobservasi atau mengeksplorasi merupakan aktivitas awal yang
dilakukan siswa dalam memahami dan mendalami sebuah persoalan dalam rangka
mencari penyelesaiannya. Mendengar dan berbicara adalah proses interaksi
diantara siswa, seperti membicarakan berbagai strategi penyelesaian, bagaimana
masalah diselesaikan, mengkritisi jawaban yang telah ada sehingga diperoleh
jawaban yang lebih baik atau mungkin aktivitas berupa kerja kelompok kecil,
diskusi, dan melakukan pekerjaan yang diawali dengan sebuah masalah (problem
centered approach).
Belajar
matematika bukan sebuah proses pemberian sejumlah konsep atau algoritma/aturan
oleh guru kepada siswa, melainkan sebuah proses mengorganisasi fakta, konsep,
prinsip menjadi sebuah susunan konsep baru melalui aktivitas fisik maupun
mental menurut kemampuan atau cara
masing-masing siswa. Begitu pula proses menyelesaikan tugas-tugas matematika di
kelas merupakan proses mengkonstruksi secara aktif (Steeflan (1991) dalam Widyana, 2004 : 14). Berkenaan dengan
hal ini, Handbury (Herawaty, et.al, 2004
: 21) mengemukakan sejumlah aspek yang berkaitan dengan pembelajaran
matematika, yaitu (1) siswa mengkontruksi pengetahuan matemátika dengan cara
mengeintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai , dan (4) siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temanya.
Menurut
Hudojo (1998: 7-8) ciri-ciri pembelajaran matematika dalam pandangan
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.
Menyediakan
pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2. Menyediakan berbagai alternatif
pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya satu
masalah dapat dikerjakan dengan berbagai cara
3.
Mengintegrasikan
pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan
pengalaman konkrit, misalnya memahami konsep matematika melalui pengalaman
sehari-hari.
4.
Mengintegrasikan
pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadi
interaksi dan kerja sama seorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya,
misalnya interaksi dan kerja sama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5. Memanfaatkan
berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tulisan sehingga pembelajaran
menjadi lebih efektif.
6. Melibatkan
siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa
mau belajar.
thanks for the postiing
ReplyDelete