REFORMASI PENDIDIKAN

º    Membangun Manusia Seutuhnya

Inisiatif membangun manusia Indonesia yang berkualitas meniscayakan komitmen pada pembangunan pendidikan dan pengembangan SDM pada umumnya sebagai kunci utama. Rendahnya mutu SDM dan daya saing ekonomi, kenyamanan investasi yang tidak kondusif, praktik-praktik distorsi kekuasaan masih dominan, prestasi belajar siswa yang belum menggembirakan, dan daya kritis masyarakat belum bangkit merupakan bagian dari fenomena kekinian di sekitar kita.

Tidak ada kata terlambat untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang memenuhi kriteria kebajikan bagi kemaslahatan umat. UUD Negara RI Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sisdiknas yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional versi UU No. 20 tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

UU Sisdiknas mengamanatkan beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Pertama, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kedua, pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Ketiga, pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Keempat, pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Kelima, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

º    Reformasi Pendidikan

Reformasi pendidikan meniscayakan sebuah komitmen politik. Reformasi pendidikan menuntut strategi yang efektif, dimana ia menuntut perencanaan, pelaksanaan, kriteria keberhasilan, dan pengawasan yang ketat dan bermakna. Pada spektrum lebih luas, David D. Curtis (2000) mengemukakan, ada empat strategi mayor dalam reformasi pendidikan, yaitu akuntabilitas berbasis standar (standards-based accountability), reformasi sekolah secara menyeluruh (whole-school reform), strategi pasar (market strategies), dan pembuatan keputusan yang bersifat demokratis (shared decision-making). Ketiganya memiliki tautan yang erat.

º    Kapasitas Bermutu

Setiap sekolah harus mampu membangun keunggulan sesuai dengan potensi internal dan akses eksternalnya. Sekolah sendiri harus memiliki kapasitas untuk berubah. Inisiatif untuk meningkatkan mutu pun, meniscayakan kapasitas yang kuat untuk itu. Kapasitas sebagaimana dimaksudkan di atas merupakan kombinasi antara aspek individu dengan aspek kelembagaan. Menurut Diane Massel (1998), ada tujuh elemen kapasitas untuk meningkatkan mutu pendidikan persekolahan, yaitu : (1) pengetahuan dan keterampilan guru, (2) motivasi siswa, (3) materi kurikulum, (4) kualitas dan tipe orang-orang yang mendukung proses pembelajaran di kelas, (5) kuantitas dan kualitas interaksi para pihak pada tingkat organisasi sekolah, (6) sumber-sumber material, dan (7) organisasi dan alokasi sumber-sumber sekolah di tingkat lembaga. Untuk mencapai hal ini mungkin ditemukan sejumlah kendala mayornya, yang oleh Eugene Schaffer dkk. (1997) diidentifikasikan sebagai berikut : (1) kemampuan keuangan yang tidak memadai, (2) kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kompeten, (3) komitmen guru yang rendah, (4) persepsi negatif dari masyarakat, (5) penataan staf, (6) kurikulum, (7) konflik politik dan rasial, (8) keterbatasan fasilitas, dan (10) komunikasi yang tidak kondusif.

Meski uang bukanlah daya dukung yang mampu menyelesaikan semua persoalan, sumber-sumber keuangan dan besarnya dana pada umumnya menjadi kendala dan sumber frustasi khusus bagi para pembaru. Keuangan sekolah secara tradisional berbasis pada masukan yang bervariasi, dan tetap tidak ada garansi bahwa aliran dana akan terus lancar mendukung usaha-usaha reformasi pendidikan. Dilihat dari konteks pendidikan persekolahan, ada enam strategi yang dapat diterapkan di sini. Pertama, membangun komitmen untuk memberi porsi penganggaran yang lebih besar atau setidaknya secara nisbi memadai bagi keperluan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat reformatif. Kedua, memberi peluang kepada sekolah untuk secara diskresi atau keleluasaan lebih luas mengatur keuangan secara lebih besar, termasuk kewenangan menentukan sumber dan besarnya masukan tambahan dari luar sektor pemerintah, dengan tidak memupus harapan anak didik untuk bersekolah. Ketiga, menautkan kompensasi terhadap guru dengan tujuan reformasi, atau dengan kata lain, menerapkan sistem prestasi (merit system) bagi guru ke dalam skema reformasi pendidikan. Keempat, penerapan insentif kepada sekolah secara berbasis pada kinerjanya. Kelima, penerapan kaidah-kaidah akuntabilitas untuk setiap ite pembelajaran. Keenam, membangun prakarsa dana luncuran atau prakarsa yang menghasilkan sejumlah uang (revenue generating) demi sustainabilitas reformasi pendidikan.

º    Politik Pendaerahan Pendidikan

Desentralisasi manajemen pemerintahan, yang oleh kita populer disebut sebagai kebijakan otoda, suka atau tidak suka, dinyatakan atau tidak dinyatakan secara resmi, sesungguhnya akan mendorong gerakan swastanisasi atau provatisasi aneka tatanan ekonomi dan pranata formal lain. Istilah swastanisasi atau privatisasi ini secara sederhana antara lain dapat ditafsirkan sebagai pengalihan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Sementara dilihat dari perspektif struktur, desentralisasi mengandung makna pemangkasan ini birokrasi yang sentralistik dengan cara melimpahkan kewenangannya ke titik-titik paling dekat dengan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan, dalam hal ini di tingkat kabupaten atau kota.
 
Secara kualitatif, sumberdaya institusi pendidikan dapat diklasifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu SDM, sumberdaya material, dan sumberdaya fasilitatif. Sumberdaya fasilitatif bermakna struktur organisasi institusi pendidikan yang telah ditata, yang masing-masingnya diharapkan dapat menfasilitasi tugas pokok dan fungsi unit struktur itu. Sumberdaya lainnya adalah yang mungkin diakses dimasyarakat, baik yang ada disektor pemerintah swasta, maupun sumberdaya alam pada umumnya.
 
Pada tataran eksekutif institusi pendidikan, inisiatif menciptakan kondisi hubungan sinergis-kolegial dalam tubuh masyarakat pendidikan akan menjelma secara riil, manakala di dalam bekerja mereka lebih mengutamakan pendekatan pemberdayaan (empowering) ketimbang otoritas.
 
Pemberdayaan merupakan prasyarat bagi perubahan budaya kerja, termasuk perubahan kinerja dan perilaku praktikal edukasional. Perubahan budaya dimaksud menyangkut budaya manajemen, budaya peran, budaya tugas, dan budaya individu. Budaya manajemen merujuk pada kapasitas manajerial seorang eksekutif untuk bekerja dengan dan melalui orang lain secara efektif, efisien, dan akuntabel. Budaya peran bermakna apakah seseorang atau satu unit kerja telah mampu bergerak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Budaya tugas mengandung makna apakah komunikasi vertikal dan horizontal, termasuk koordinasi, telah berjalan secara sinergis. Budaya individu merujuk pada apakah seseorang telah mampu memainkan perannya tanpa harus selalu dipandu oleh prakarsa struktur.
 
Orientasi penataan struktur organisasi harus berpijak pada substansi tugas secara ketat, sehingga tidak terjadi duplikasi, atau sebaliknya lingkup tugasnya terlalu kecil. Karenanya, penataan struktur itu bukan berbasis pada konsiderasi untuk menempatkan pejabat pada “lembaga asal”, karena belas kasihan agar pejabat lama tidak kehilangan posisi, apalagi sebatas bagi-bagi kekuasaan.
Kultur sentralisasi manajemen pendidikan yang berjalan hampir sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia hingga era Otoda telah menyebabkan rendahnya kapasitas individu secara orang perorang atau kelompok untuk memberdayakan dirinya.
 
Kondisi yang sama juga nampak pada budaya manajemen, budaya peran, budaya tugas, dan budaya individu. Budaya individu atau kelompok yang dimaksudkan di sini merujuk apakah seseorang akademisi atau sekelompok tenaga kependidikan telah mampu memainkan perannya tanpa harus selalu dipandu oleh pejabat yang menduduki posisi ini.
 
Pendaerahan pendidikan adalah sebuah kebijakan politik, bukan hanya karena keputusan itu diambil oleh wakil-wakil rakyat dan eksekutif, melainkan juga sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat setempat dalam kerangka membangun pendidikan.
 
Kebijakan politik pendaerahan pendidikan berimplikasi pula pada tatanan pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah. Institusi persekolahan akan terdorong untuk bekerja makin otonom, dengan menerapkan pola kerja yang disebut MBS. Dengan demikian, MBS merupakan satu bentuk reformasi pendidikan di tingkat lokal. Stiegelbauer (1991) mengemukakan kendala-kendala pembaruan pendidikan di tingkat lokal dengan model MBS adalah: (1) waktu, pelatihan, dan bantuan teknis yang tidak memadai; (2) kesulitan merangsang kepedulian dan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang kurang mengenakkan; (3) adanya isu-isu yang belum terealisasikan yang melibatkan kepemimpinan administratif di satu sisi dan perluasan kekuasaan partisipan di sisi lain; (4) hambatan-hambatan melibatkan akademisi dalam pengambilan keputusan; (5) keengganan para administrator di semua jenjang birokrasi; (6) pembatasan dari banyak pihak dan peraturan dari pusat.
 
Dalam kaitan ini sekolah-sekolah harus dipersiapkan untuk berkembang mandiri secara bertahap. Inisiatif ke arah ini pun mengalami banyak kendala. Antara lain: (1) manajemen sekolah yang relatif lemah, (2) hubungan sekolah dengan masyarakat yang tidak intens dan kondusif, (3) keengganan birokrat pendidikan melimpahkan sebagian kewenangannya, dan (4) supervisi pengajaran secara internal  belum optimum.

No comments:

Post a Comment